Rabu, 09 Juni 2010

Kebegoan Budaya

Ketika Wartawan cepat tua dan artis tak tahu diri
Ditulis Oleh : Arswendo Atmowiloto
Sumber : Sindo, 8 Juni 2008

Seorang Redaktur majalah perempuan pernah mengeluh bahwa bekerja di media membuatnya cepat tua. Bulan Juni baru dijalani, dia sudah merasakan bulan puasakarena menyiapkan artikel, rubrik masak-memasak,mode, dan sejenisnya. Dengan kata lain, ia sudah merasakan berada di bulan puasa yang masih berlangsung beberapa bulan kedepan. Bahkan, sebelum benar-benar memasuki bulan puasa, ia sudah berada dalam suasana natal atau akhir tahun atau awal tahun. Atau persiapan edisi Valentine, atau kemudian edisi kartini. Bisa dimengerti, kaum perempuan lebih peka pada waktu -karena secara alamiah menjalani siklus waktu tertentu- dan karenanya lebih sadar akan realitas yang berbeda.
Pekerja sinetron atau film juga mengalami hal yang kurang lebih sama. Mereka bukan bertambah tua karena menyiapkan acara yang sama untuk bulan kedepan, melainkan juga menyiasati waktu yang sedang berlangsung. Ketika syuting siang hari, mereka bisa memakai penutup tirai hitam karena mau menampilkan agenda malam. Begitu juga sebaliknya. Di ruangan saat malam hari, ditambahi lampu sana sini, bisa menampilkan adegan pagi atau sore hari. Lalu, di luar ruangan, saat terang benderang, mereka mendatangkan penyemprot air yang biasa dilakukan dengan mobil pemadam kebakaran untuk menyiptakan kondisi hujan. Kala hujan, jalanan yang becek di pel sampai kering. Jalan yang biasa ramai dibuat sepi, sementara jalanan yang biasa sepi bisa dibuat penuh orang berdesakan.
Dua realitas yang bertolak belakang, siang menjadi malam-dalam artian yang sebenarnya, juga berpengaruh dalam diri para pemeran- yang dalam kartu nama sering mencantumkan profesi sebagai seorang artis. Seorang pemeran ternama memperoleh honor sampai 70 kali lipat dari pemeran yang kurang ternama, bisa ratusan kali lipat yang sama sekali belum punya nama. Dalam pengertian waktu, ketiga golongan pemeran ini menghabiskan waktu yang sama, berkeringat sama. Seorang figuran bahkan bisa menunggu lebih lama lagi, lebih tidak diprioritaskan -dalam makan bisa berbeda, untuk yang membenahi alis atau bedaknya bisa berbeda, dalam mengobrol bisa diteriaki agar diam dengan geram. Perbedaan honor dalam skala perbandingan satu dibanding lima ratus, adalah realitas ketus dilapangan. Padahal keduanya bisa sama-sama cantik atau ganteng, sama-sama punya payudara, dan sama-sama bisa beradegan menangis, makan atau jatuh cinta. Bias yang terjadi ini harus diterima dan berharap bahwa dengan satu lejitan tertentu yang menerima bayaran terendah tanpa kontrak ini bisa melonjak. Syukur dalam waktu mendadak. Segala tidak laku diupayakan agar terjelma perubahan "kasta".
Bagi para pemeran sendiri, bias itu juga biasa. Ketika hatinya sedang galau karena mengurusi perceraian, ia tampil dengan senyum berkilau dan mengucapkan kata-kata cinta dan bersikap manja dengna dandanan yang memukau.
Banyak artis yang sadar diri dan tahu bagaimana mengatasi realitas peran yang bias ini. Tapi, lebih banyak yang tidak. Apalagi, dikalangan nonartis. Buanyaknyaknyak, kita tinggal menunggu tayangan, hasil pemerannya dalam berita. Sambil mengurut dada-dada kita sendiri, sebaiknya.